Jumat, 30 Oktober 2009

Gang Hortensia

Gadis itu memang bukan sepantasnya keluyuran pada jam-jam begini.Seharusnya ia sedang menyimak pelajaran yang diberikan oleh gurunya.Atau,mengerjakan tugas.Atau,di perpustakaan membaca buku.

Namun, kenyataannya ia sedang berada di sebuah gang. Ya, Gang Hortensia. Sendirian ia di gang itu. Sebelum masuk gang, ia menyempatkan mampir di sebuah masjid,menuju kamar kecil masjid itu, dan mengganti seragam abu-abu putihnya dengan celana jeans dan kaus ketat warna merah. Tubuhnya yang memang bongsor,dengan pakaian semacam itu, sulit dibedakan dengan mahasiswa semester awal.

Namun, sorot matanya tidak bisa melengkapi tubuhnya yang dewasa terlalu dini. Gang itu sebenarnya biasa saja. Di samping kanan kirinya merupakan kios-kios,terutama yang paling banyak adalah kios pulsa. Dulu gang itu adalah sebuah selokan,dan oleh pemerintah setempat disulap menjadi jalan yang cukup bagus.

Kini gang itu menjadi jalur alternatif yang banyak digunakan mahasiswa ke kampus yang terletak di ujung gang. Gadis itu melenggang di pinggir gang.Cara jalannya dibuat-buat agar tidak seperti “ABG”. Langkahnya mulai membawanya masuk beberapa meter ke dalam gang.Kemudian, ia berhenti di sebuah kios. Kios itu bukan kios pulsa. Lama ia berdiri di depan kios itu. Gadis itu masih mematung saja.

Terlihat bahwa ia sedang bimbang, apakah mau masuk atau tidak. Namun,akhirnya ia melangkah masuk. Tangannya mendorong pintu kaca kios itu dengan pasti. Dari ruangan atas,di lantai dua,terdengar suara rintihan beserta dengingan mesin. Ia mulai ragu, tetapi ia sudah masuk,dan sebentar lagi niatnya pun akan segera dilakukannya. Ia mengelilingi gambargambar yang ditempel di dinding dalam kios.

Matanya terlalu serius untuk gadis seusianya.Diamatinya gambar-gambar itu satu per satu. Kadang ia pun menyentuh gambar itu, dan menggelengkan kepala, tanda tak setuju. Karyawan kios pun mendekat dan menyapa. “Cari pola yang seperti apa, Mbak?” Mendengar dipanggil Mbak, gadis itu menjadi kikuk.Panggilan itu masih asing di telinganya.Biasanya orang akan memanggilnya dengan Dik saja.

Tentu, itu gara-gara seragam abu-abu putih yang biasa ia pakai.Namun,kali ini ia memang tampil beda. Ia tidak ingin dianggap sebagai anak kecil. Sambil membusungkan dadanya yang memang sudah cukup berisi, ia menjawab karyawan kios. “Ehmm… saya lihat-lihat dulu deh,Mas,”katanya sedikit manja. “Oh, silakan saja. Apa perlu saya temani, barangkali saya bisa membantu?” “Engg… nggak usah, Mas.

Beneran kok, saya cuma pengin lihatlihat. Boleh,kan?” “Boleh,silakan… silakan.” Karyawan itu pun kembali ke mejanya,sambil sesekali ia melirik gadis yang tampaknya kebingungan itu.Ketika sampai pada sebuah gambar, mata gadis itu berhenti, dan serius mengamatinya.Gambar itu berupa tengkorak dan bunga mawar. Bibir gadis itu kini menyunggingkan senyum. “Itu jenis old school, Mbak.

Beberapa waktu yang lalu sempat ngetren, lho,” rayu karyawan yang sudah berada di sampingnya. “Oh, saya suka modelnya, terlihat klasik dan seksi,”sahut gadis itu yang terdengar agak sok tahu. Karyawan itu hanya tersenyum, dan menjentikkan ibu jari dengan jari tengahnya,tanda setuju. “Mas, ehmm… kalau di paha sakit nggak?” tanya gadis itu kepada karyawan kios.

“Bagaimana jawabnya, ya? Orang datang ke sini itu sudah harus siap merasakan sakit,Mbak.” Gadis itu manggut-manggut. “Harganya, Mas?” tanya gadis itu lagi. “Kalau yang permanen Rp80.000. Sedangkan untuk yang temporer cuma Rp30.000 saja. Bagaimana? Mau langsung dikerjakan sekarang?” Gadis itu diam sebentar.Kerutkerut pada dahinya mengatakan bahwa ia sedang berpikir.

Setelah beberapa saat, ia berkata, “Besok saja deh,Mas.Saya pikir-pikir dulu.” Karyawan itu mengangguk dan tersenyum ramah, lalu bergegas membukakan pintu keluar saat gadis itu berpamitan. Esoknya gadis itu datang lagi. Seperti biasa, sebelum masuk ke gang itu, ia mampir dulu ke masjid untuk mengganti baju seragamnya dengan celana jin dan kaus.Kali ini ia memakai kaus warna hijau.

Untuk mempertegas wajahnya, ia oleskan sedikit pewarna bibir warna merah muda tipis-tipis. Berjalanlah ia di gang itu.Kemudian, tanpa harus berhenti di depan kios itu, kali ini ia langsung masuk dengan langkah pasti. Karyawan kios langsung menyapa dengan ramah. Gadis itu pun langsung menunjuk gambar tengkorak dan bunga mawar. “Ini, Mas. Saya pilih yang ini. Langsung, permanen,” kata gadis itu tanpa ragu.

Karyawan kios mengangguk dan tersenyum, lalu segera memanggil karyawan lainnya yang berada di lantai dua. “Tapi, Mas. Boleh saya minta waktu sebentar?”kata gadis itu sebelum karyawan satunya kelihatan turun dari lantai dua. “Waktu buat apa,Mbak?” “Buat minum ini dulu,” jawab gadis itu sambil mengeluarkan sebuah botol yang tidak lain adalah minuman keras.

“Kata teman-teman ini buat mengurangi rasa sakit.” Raut muka karyawan itu tidak terlalu terkejut atau heran dengan apa yang dilihatnya dari gadis itu. Sepertinya ia sudah ratusan kali menemui konsumen yang semacam itu. Ia membuka mulutnya sedikit dan mengeluarkan kata-kata setengah mengejek.

“Kalau Mbak takut, mendingan tidak usah saja. Atau, cari tempat lain saja.Di sini kami tidak melayani konsumen dalam keadaan mabuk,”kata karyawan kios itu dengan nada seolah sedang menutupi sedikit rasa jengkelnya. Gadis itu sedikit cemberut. Dengan sewot, dimasukkannya botol minuman keras itu bercampur dengan seragam abu-abu putihnya di dalam tas.

Percaya atau tidak, jika dilihat dengan teliti, muka gadis itu sekarang tampak benar-benar seperti gadis kecil yang tidak jadi dibelikan boneka Barbie. Dengan lirikan jengkel dan manja kepada karyawan kios itu,ia mengikuti karyawan kios yang satunya, yang baru saja tiba dari lantai dua.Mereka berdua lalu menuju lantai dua, tempat suara dengingan mesin terdengar nyaring, dan sesekali terdengar lengkingan jeritan, geraman, dan tak jarang umpatan.

*** Begitulah,timbul rasa congkak dan puas dalam diri gadis itu sekarang. Ada kebanggaan tersendiri dari dalam dirinya, terutama kekaguman terhadap keindahan tubuhnya sendiri. Apa yang ada dalam bayangannya adalah jika ada orang yang tidak sengaja melihat pahanya, atau sengaja iseng mengintip roknya, maka orang itu akan semakin terkesima.

Itu artinya tubuhnya semakin menarik untuk dihinggapi sepasang, dua pasang,atau bahkan ribuan pasang mata. Malamnya, setelah dari gang itu,ia mulai beraksi di alun-alun seperti biasa. Meskipun luka bekas tusukan jarum di pahanya belum kering, ia merasa harus segara menunjukkannya kepada orang lain. Entah,kepada orang baru,atau kepada pelanggan biasanya.

Calo yang seorang tukang becak akhirnya mempertemukannya dengan pelanggan baru.Melihat tampangnya ia yakin laki-laki itu seorang terpelajar,mungkin saja mahasiswa. Wajahnya tidak terlalu bernafsu, tetapi penuh selidik.Dan,sepertinya wajahnya pernah ia kenali, tetapi entah di mana.Ia lupa.

Setelah transaksi harga selesai, aksi pun dimulai. Mereka berdua berjalan ke tengah alun-alun dan menuju pohon beringin yang dikelilingi tembok setinggi orang dewasa. Kemudian, masuklah mereka berdua ke dalam tembok itu. Laki-laki yang kelihatan seperti mahasiswa itu sudah memegang korek api batangan.Wajahnya terlihat tenang. Napasnya teratur.

Dan, tidak menunjukkan nafsu seperti pelanggan yang lain pada umumnya. Biasanya pelanggan yang sudah terbiasa akan langsung menyalakan korek api batangan, dan mengarahkan ke rok gadis itu, yang sengaja dibuka. Perlu diketahui bahwa satu korek api tarifnya bisa lima ribu, atau enam ribu, dan maksimal cuma lima batang korek api saja. Sesekali pelanggan itu harus mengumpat juga karena angin biasanya akan menyapu habis ujung api dan memadamkan lima ribu rupiah dengan sia-sia.

Tujuannya adalah mengintip celana dalam gadis itu yang dihargai lima ribu rupiah, dengan cahaya dari korek api batangan. Hanya saja, pelanggan baru ini malah meletakkan korek api di atas rumput.Gadis itu pun urung mengangkangkan pahanya. “Aku Siswo, mahasiswa yang KKN di desamu,”kata laki-laki itu.

“Si Mbok dan Bapakmu kemarin minta tolong kepadaku untuk mengatakan sesuatu kepadamu.” Gadis itu kebingungan. Benar, ia memang pernah melihat lakilaki itu sewaktu pulang ke desa. Ia baru ingat bahwa dua bulan ini ia sudah tidak pernah pulang, meskipun jarak desanya tidak jauh dari kota tempat ia sekolah. “Aku dititipi pesan oleh orang tuamu. Pertama, jangan datang lagi ke Gang Hortensia.”

“Kenapa?” “Menggambari tubuh itu dosa,” jawab laki-laki itu.“Kedua, jangan bekerja seperti ini lagi.” Gadis itu diam.Ternyata selama ini ia diawasi. “Ketiga, kata orang tuamu,mereka sekarang punya cukup uang untuk biaya sekolahmu, bahkan sampai perguruan tinggi nanti.” Gadis itu benar-benar belum bisa menangkap maksud dari semua perkataan Siswo. “Keempat, kamu tidak boleh menangis jika pulang nanti.” Gadis itu semakin bingung, apalagi kata-kata terakhir Siswo sangat janggal. Namun, laki-laki itu cepat meninggalkannya.

*** Ya, tubuh perempuan memang indah. Matalah yang mengatakan begitu. Matalah yang akan menghakimi apakah seseorang itu cantik atau tidak, ganteng atau tidak.Ya, sudah seperti itu adanya. Segepok uang sekarang ada di tangan gadis itu. Namun, yang di tangannya sebenarnya adalah dua pasang mata orang tuanya yang dijual untuk bekal membiayai masa depannya nanti. Ya, dua pasang mata mereka sudah mereka jual pada seorang Cina yang membutuhkan donor mata.

Rupanya inilah yang dimaksudkan oleh Siswo di alun-alun itu. Kini kedua orang tuanya yang mulai kelihatan tua tidak bisa lagi melihat wajah anak gadisnya. Namun, dalam cekungan melompong mata mereka tergambar keyakinan besar.Keyakinan bahwa tindakan mereka adalah benar. Gadis itu membatin. Selama ini tubuhku selalu aku biarkan menjadi incaran mata penuh nafsu siapa saja yang mampu membayarnya dengan uang, dan itu semakin membuatku angkuh.

Bahkan pahaku kuhiasi dengan gambar agar lebih menarik dipandang mata. Namun, tidak adil jika aku harus kehilangan kedua pasang mata orang tuaku! Dia tidak bisa menuruti kata-kata Siswo untuk tidak menangis.Suatu kali dia pergi ke Gang Hortensia, dan menuju kios tempat dia dulu membuat gambar di pahanya. Dia meminta untuk menghilangkan gambar di pahanya.

Namun ternyata sudah tidak bisa,kulitnya terlalu sensitif. Rasa bersalahnya semakin menjadi-jadi. Ia teringat kedua orang tuanya yang sekarang menggunakan tongkat dan ke manamana selalu bergandengan. Dia kembali membatin: Kalau gambar itu tidak bisa dihilangkan dan aku selalu merasa berdosa saat melihatnya, sebenarnya ada satu cara agar gambar itu tetap tidak terlihat.

Dipandangnya sepasang matanya melalui kaca bedak miliknya.Mata itu sudah berkaca-kaca. Ia pun membatin lagi, apa aku juga harus menghilangkan kedua mataku agar tidak bisa lagi melihat tubuhku sendiri? Dan, pecahlah ombak besar di matanya,di gang itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar