Anak adalah subjek hukum yang belum cakap melakukan perbuatan hukum sendiri sehingga harus dibantu oleh orang tua atau walinya yang memiliki kecakapan. Pengaturan status hukum anak hasil perkawinan campuran dalam UU Kewarganegaraan yang baru, memberi pencerahan yang positif, terutama dalam hubungan anak dengan ibunya, karena UU baru ini mengizinkan kewarganegaraan ganda terbatas untuk anak hasil perkawinan campuran.
UU Kewarganegaraan yang baru ini menuai pujian dan juga kritik, termasuk terkait dengan status anak.Seiring berkembangnya zaman dan sistem hukum, UU Kewarganegaraan yang baru ini penerapannya semoga dapat terus dikritisi oleh para ahli hukum perdata internasional, terutama untuk mengantisipasi potensi masalah.
Kamis, 25 November 2010
STATUS ANAK YANG LAHIR DALAM PERKAWINAN CAMPURAN
Perkawinan campuran telah merambah ke-seluruh pelosok Tanah Air dan kelas masyarakat. Globalisasi informasi, ekonomi, pendidikan, dan transportasi telah menggugurkan stigma bahwa kawin campur adalah perkawinan antara ekspatriat kaya dan orang Indonesia. Menurut survey yang dilakukan oleh Mixed Couple Club, jalur perkenalan yang membawa pasangan berbeda kewarganegaraan menikah antara lain adalah perkenalan melalui internet, kemudian bekas teman kerja/bisnis, berkenalan saat berlibur, bekas teman sekolah/kuliah, dan sahabat pena. Perkawinan campur juga terjadi pada tenaga kerja Indonesia dengan tenaga kerja dari negara lain. Dengan banyak terjadinya perkawinan campur di Indonesia sudah seharusnya perlindungan hukum dalam perkawinan campuran ini diakomodir dengan baik dalam perundang-undangan di indonesia.
Dalam perundang-undangan di Indonesia, perkawinan campuran didefinisikan dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 57 : ”yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”.
Selama hampir setengah abad pengaturan kewarganegaraan dalam perkawinan campuran antara warga negara indonesia dengan warga negara asing, mengacu pada UU Kewarganegaraan No.62 Tahun 1958. Seiring berjalannya waktu UU ini dinilai tidak sanggup lagi mengakomodir kepentingan para pihak dalam perkawinan campuran, terutama perlindungan untuk istri dan anak.
Menurut teori hukum perdata internasional, untuk menentukan status anak dan hubungan antara anak dan orang tua, perlu dilihat dahulu perkawinan orang tuanya sebagai persoalan pendahuluan, apakah perkawinan orang tuanya sah sehingga anak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya, atau perkawinan tersebut tidak sah, sehingga anak dianggap sebagai anak luar nikah yang hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya.
Dalam sistem hukum Indonesia, Prof. Sudargo Gautama menyatakan kecondongannya pada sistem hukum dari ayah demi kesatuan hukum dalam keluarga, bahwa semua anak–anak dalam keluarga itu sepanjang mengenai kekuasaan tertentu orang tua terhadap anak mereka (ouderlijke macht) tunduk pada hukum yang sama. Kecondongan ini sesuai dengan prinsip dalam UU Kewarganegaraan No. 62 tahun 1958.
Kecondongan pada sistem hukum ayah demi kesatuan hukum, memiliki tujuan yang baik yaitu kesatuan dalam keluarga, namun dalam hal kewarganegaraan ibu berbeda dari ayah, lalu terjadi perpecahan dalam perkawinan tersebut maka akan sulit bagi ibu untuk mengasuh dan membesarkan anak-anaknya yang berbeda kewarganegaraan, terutama bila anak-anak tersebut masih dibawah umur.
Barulah pada 11 Juli 2006, DPR mengesahkan Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru. Lahirnya undang-undang ini disambut gembira oleh sekelompok kaum ibu yang menikah dengan warga negara asing, walaupun pro dan kontra masih saja timbul, namun secara garis besar Undang-undang baru yang memperbolehkan dwi kewarganegaraan terbatas ini sudah memberikan pencerahan baru dalam mengatasi persoalan-persoalan yang lahir dari perkawinan campuran.
Persoalan yang rentan dan sering timbul dalam perkawinan campuran adalah masalah kewarganegaraan anak. UU kewarganegaraan yang lama menganut prinsip kewarganegaraan tunggal, sehingga anak yang lahir dari perkawinan campuran hanya bisa memiliki satu kewarganegaraan, yang dalam UU tersebut ditentukan bahwa yang harus diikuti adalah kewarganegaraan ayahnya. Pengaturan ini menimbulkan persoalan apabila di kemudian hari perkawinan orang tua pecah, tentu ibu akan kesulitan mendapat pengasuhan anaknya yang warga negara asing.
Dengan lahirnya UU Kewarganegaraan yang baru, sangat menarik untuk dikaji bagaimana pengaruh lahirnya UU ini terhadap status hukum anak dari perkawinan campuran. Definisi anak dalam pasal 1 angka 1 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah : “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.
Dalam hukum perdata, diketahui bahwa manusia memiliki status sebagai subjek hukum sejak ia dilahirkan. Pasal 2 KUHP memberi pengecualian bahwa anak yang masih dalam kandungan dapat menjadi subjek hukum apabila ada kepentingan yang menghendaki dan dilahirkan dalam keadaan hidup. Manusia sebagai subjek hukum berarti manusia memiliki hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum. Namun tidak berarti semua manusia cakap bertindak dalam lalu lintas hukum. Orang-orang yang tidak memiliki kewenangan atau kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum diwakili oleh orang lain.
Dengan demikian anak dapat dikategorikan sebagai subjek hukum yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Seseorang yang tidak cakap karena belum dewasa diwakili oleh orang tua atau walinya dalam melakukan perbuatan hukum. Anak yang lahir dari perkawinan campuran memiliki kemungkinan bahwa ayah ibunya memiliki kewarganegaraan yang berbeda sehingga tunduk pada dua yurisdiksi hukum yang berbeda. Berdasarkan UU Kewarganegaraan yang lama, anak hanya mengikuti kewarganegaraan ayahnya, namun berdasarkan UU Kewarganegaraan yang baru anak akan memiliki dua kewarganegaraan. Menarik untuk dikaji karena dengan kewarganegaraan ganda tersebut, maka anak akan tunduk pada dua yurisdiksi hukum.
Bila dikaji dari segi hukum perdata internasional, kewarganegaraan ganda juga memiliki potensi masalah, misalnya dalam hal penentuan status personal yang didasarkan pada asas nasionalitas, maka seorang anak berarti akan tunduk pada ketentuan negara nasionalnya. Bila ketentuan antara hukum negara yang satu dengan yang lain tidak bertentangan maka tidak ada masalah, namun bagaimana bila ada pertentangan antara hukum negara yang satu dengan yang lain, lalu pengaturan status personal anak itu akan mengikuti kaidah negara yang mana. Lalu bagaimana bila ketentuan yang satu melanggar asas ketertiban umum pada ketentuan negara yang lain.
Sebagai contoh adalah dalam hal perkawinan, menurut hukum Indonesia, terdapat syarat materil dan formil yang perlu dipenuhi. Ketika seorang anak yang belum berusia 18 tahun hendak menikah maka harus memuhi kedua syarat tersebut. Syarat materil harus mengikuti hukum Indonesia sedangkan syarat formil mengikuti hukum tempat perkawinan dilangsungkan. Misalkan anak tersebut hendak menikahi pamannya sendiri (hubungan darah garis lurus ke atas), berdasarkan syarat materiil hukum Indonesia hal tersebut dilarang (pasal 8 UU No. 1 tahun 1974), namun berdasarkan hukum dari negara pemberi kewarganegaraan yang lain, hal tersebut diizinkan, lalu ketentuan mana yang harus diikutinya.
Dalam menentukan kewarganegaraan seseorang, dikenal dengan adanya asas kewarganegaraan berdasarkan kelahiran dan asas kewaraganegaraan berdasarkan perkawinan. Dalam penentuan kewarganegaraan didasarkan kepada sisi kelahiran dikenal dua asas yaitu asas ius soli dan ius sanguinis. Ius artinya hukum atau dalil. Soli berasal dari kata solum yang artinya negari atau tanah. Sanguinis berasal dari kata sanguis yang artinya darah. Asas Ius Soli; Asas yang menyatakan bahawa kewarganegaraan seseorang ditentukan dari tempat dimana orang tersebut dilahirkan. Asas Ius Sanguinis; Asas yang menyatakan bahwa kewarganegaraan sesorang ditentukan beradasarkan keturunan dari orang tersebut.
Selain dari sisi kelahiran, penentuan kewarganegaraan dapat didasarkan pada aspek perkawinan yang mencakupa asas kesatuan hukum dan asas persamaan derajat. Asas persamaan hukum didasarkan pandangan bahwa suami istri adalah suatu ikatan yang tidak terpecahkan sebagai inti dari masyarakat. Dalam menyelenggarakan kehidupan bersama, suami istri perlu mencerminkan suatu kesatuan yang bulat termasuk dalam masalah kewarganegaraan. Berdasarkan asas ini diusahakan ststus kewarganegaraan suami dan istri adalah sama dan satu.
Penentuan kewarganegaraan yang berbeda-beda oleh setiap negara dapat menciptakan problem kewarganegaraan bagi seorang warga. Secara ringkas problem kewarganegaraan adalah munculnya apatride dan bipatride. Appatride adalah istilah untuk orang-orang yang tidak memiliki kewarganegaraan. Bipatride adalah istilah untuk orang-orang yang memiliki kewarganegaraan ganda (rangkap dua). Bahkan dapat muncul multipatride yaitu istilah untuk orang-orang yang memiliki kewarganegaraan yang banyak (lebih dari 2).
Adapun Undang-Undang yang mengatur tentang warga negara adalah Undang-Undang No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Pewarganegaraan adalah tatacara bagi orang asing untuk memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia melalui permohonan. Dalam Undang-Undang dinyatakan bahwa kewarganegaraan Republik Indonesia dapat juga diperoleh memalului pewarganegaraan.
Permohonan pewarganegaraan dapat diajukan oleh pemohon juika memenuhi persyaratan sebagai berikut: telah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin, pada waktu mengajukan permohonan sudah bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun berturut-turut atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut, sehat jasmani dan rohani, dapat berbahasa Indonesia serta mengakui dasar negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 1 (satu) tahun, jika dengan memperoleh kewarganegaraan Indonesia, tidak menjadi kewarganegaraan ganda, mempunyai pekerjaan dan/atau berpenghasilan tetap, membayar uang pewarganegaraan ke Kas Negara.
Hilangnya Kewarganegaraan Indonesia diantaranya; memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri, tidak menolak atau melepaskan kewarganegaraan lain, sedangkan orang yang bersangkutan mendapat kesempatan untuk itu, dinyatakan hilang kewarganegaraan oleh Presiden atas permohonannya sendiri, yang bersangkutan sudah berusia 18 tahun atau sudah kawin, bertempat tinggal di luar negeri dan dengan dinyatakan hilang kewarganegaraan Republik Indonesia tidak menjadi tanpa kewarganegaraan, masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden, secara sukarela masuk dalam dinas negara asing, yang jabatan dalam dinas semacam itu di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undngan hanya dapat dijabat oleh warga negara Indonesia, secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut, tidak diwajibkan tapi turut serta dalam pemilihan sesuatu yangbersifat ketatanegaraan untuk suatu negara asing, mempunyai paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing atau surat yang dapat diartikan sebagai tanda kewarganegaraan yang masih berlaku dari negara lain atas namanya, bertempat tinggal diluar wilayah negara republic Indonesia selama 5 (liama0 tahun berturut-turut bukan dalam rangaka dinas negara, tanpa alas an yang sah dan dengan sngaja tidak menyatakan keinginannya untuk tetap menjadi Warga Negara Indonedia sebelum jangka waktu 5(liama) tahun itu berakhir dan setiap 5 (lima) tahun berikutnya yang bersangkutan tidak mengajukan pernytaaan ingin tetap menjadi warga Negara Indonesia kepada perwakilan RI yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal yang bersangkutan padahal perwakilan RI tersebut telah memberitahukan secara tertulis kepada yang bersangkutan tidak menjadi tanpa kewarganegaraan.
Dalam perundang-undangan di Indonesia, perkawinan campuran didefinisikan dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 57 : ”yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”.
Selama hampir setengah abad pengaturan kewarganegaraan dalam perkawinan campuran antara warga negara indonesia dengan warga negara asing, mengacu pada UU Kewarganegaraan No.62 Tahun 1958. Seiring berjalannya waktu UU ini dinilai tidak sanggup lagi mengakomodir kepentingan para pihak dalam perkawinan campuran, terutama perlindungan untuk istri dan anak.
Menurut teori hukum perdata internasional, untuk menentukan status anak dan hubungan antara anak dan orang tua, perlu dilihat dahulu perkawinan orang tuanya sebagai persoalan pendahuluan, apakah perkawinan orang tuanya sah sehingga anak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya, atau perkawinan tersebut tidak sah, sehingga anak dianggap sebagai anak luar nikah yang hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya.
Dalam sistem hukum Indonesia, Prof. Sudargo Gautama menyatakan kecondongannya pada sistem hukum dari ayah demi kesatuan hukum dalam keluarga, bahwa semua anak–anak dalam keluarga itu sepanjang mengenai kekuasaan tertentu orang tua terhadap anak mereka (ouderlijke macht) tunduk pada hukum yang sama. Kecondongan ini sesuai dengan prinsip dalam UU Kewarganegaraan No. 62 tahun 1958.
Kecondongan pada sistem hukum ayah demi kesatuan hukum, memiliki tujuan yang baik yaitu kesatuan dalam keluarga, namun dalam hal kewarganegaraan ibu berbeda dari ayah, lalu terjadi perpecahan dalam perkawinan tersebut maka akan sulit bagi ibu untuk mengasuh dan membesarkan anak-anaknya yang berbeda kewarganegaraan, terutama bila anak-anak tersebut masih dibawah umur.
Barulah pada 11 Juli 2006, DPR mengesahkan Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru. Lahirnya undang-undang ini disambut gembira oleh sekelompok kaum ibu yang menikah dengan warga negara asing, walaupun pro dan kontra masih saja timbul, namun secara garis besar Undang-undang baru yang memperbolehkan dwi kewarganegaraan terbatas ini sudah memberikan pencerahan baru dalam mengatasi persoalan-persoalan yang lahir dari perkawinan campuran.
Persoalan yang rentan dan sering timbul dalam perkawinan campuran adalah masalah kewarganegaraan anak. UU kewarganegaraan yang lama menganut prinsip kewarganegaraan tunggal, sehingga anak yang lahir dari perkawinan campuran hanya bisa memiliki satu kewarganegaraan, yang dalam UU tersebut ditentukan bahwa yang harus diikuti adalah kewarganegaraan ayahnya. Pengaturan ini menimbulkan persoalan apabila di kemudian hari perkawinan orang tua pecah, tentu ibu akan kesulitan mendapat pengasuhan anaknya yang warga negara asing.
Dengan lahirnya UU Kewarganegaraan yang baru, sangat menarik untuk dikaji bagaimana pengaruh lahirnya UU ini terhadap status hukum anak dari perkawinan campuran. Definisi anak dalam pasal 1 angka 1 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah : “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.
Dalam hukum perdata, diketahui bahwa manusia memiliki status sebagai subjek hukum sejak ia dilahirkan. Pasal 2 KUHP memberi pengecualian bahwa anak yang masih dalam kandungan dapat menjadi subjek hukum apabila ada kepentingan yang menghendaki dan dilahirkan dalam keadaan hidup. Manusia sebagai subjek hukum berarti manusia memiliki hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum. Namun tidak berarti semua manusia cakap bertindak dalam lalu lintas hukum. Orang-orang yang tidak memiliki kewenangan atau kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum diwakili oleh orang lain.
Dengan demikian anak dapat dikategorikan sebagai subjek hukum yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Seseorang yang tidak cakap karena belum dewasa diwakili oleh orang tua atau walinya dalam melakukan perbuatan hukum. Anak yang lahir dari perkawinan campuran memiliki kemungkinan bahwa ayah ibunya memiliki kewarganegaraan yang berbeda sehingga tunduk pada dua yurisdiksi hukum yang berbeda. Berdasarkan UU Kewarganegaraan yang lama, anak hanya mengikuti kewarganegaraan ayahnya, namun berdasarkan UU Kewarganegaraan yang baru anak akan memiliki dua kewarganegaraan. Menarik untuk dikaji karena dengan kewarganegaraan ganda tersebut, maka anak akan tunduk pada dua yurisdiksi hukum.
Bila dikaji dari segi hukum perdata internasional, kewarganegaraan ganda juga memiliki potensi masalah, misalnya dalam hal penentuan status personal yang didasarkan pada asas nasionalitas, maka seorang anak berarti akan tunduk pada ketentuan negara nasionalnya. Bila ketentuan antara hukum negara yang satu dengan yang lain tidak bertentangan maka tidak ada masalah, namun bagaimana bila ada pertentangan antara hukum negara yang satu dengan yang lain, lalu pengaturan status personal anak itu akan mengikuti kaidah negara yang mana. Lalu bagaimana bila ketentuan yang satu melanggar asas ketertiban umum pada ketentuan negara yang lain.
Sebagai contoh adalah dalam hal perkawinan, menurut hukum Indonesia, terdapat syarat materil dan formil yang perlu dipenuhi. Ketika seorang anak yang belum berusia 18 tahun hendak menikah maka harus memuhi kedua syarat tersebut. Syarat materil harus mengikuti hukum Indonesia sedangkan syarat formil mengikuti hukum tempat perkawinan dilangsungkan. Misalkan anak tersebut hendak menikahi pamannya sendiri (hubungan darah garis lurus ke atas), berdasarkan syarat materiil hukum Indonesia hal tersebut dilarang (pasal 8 UU No. 1 tahun 1974), namun berdasarkan hukum dari negara pemberi kewarganegaraan yang lain, hal tersebut diizinkan, lalu ketentuan mana yang harus diikutinya.
Dalam menentukan kewarganegaraan seseorang, dikenal dengan adanya asas kewarganegaraan berdasarkan kelahiran dan asas kewaraganegaraan berdasarkan perkawinan. Dalam penentuan kewarganegaraan didasarkan kepada sisi kelahiran dikenal dua asas yaitu asas ius soli dan ius sanguinis. Ius artinya hukum atau dalil. Soli berasal dari kata solum yang artinya negari atau tanah. Sanguinis berasal dari kata sanguis yang artinya darah. Asas Ius Soli; Asas yang menyatakan bahawa kewarganegaraan seseorang ditentukan dari tempat dimana orang tersebut dilahirkan. Asas Ius Sanguinis; Asas yang menyatakan bahwa kewarganegaraan sesorang ditentukan beradasarkan keturunan dari orang tersebut.
Selain dari sisi kelahiran, penentuan kewarganegaraan dapat didasarkan pada aspek perkawinan yang mencakupa asas kesatuan hukum dan asas persamaan derajat. Asas persamaan hukum didasarkan pandangan bahwa suami istri adalah suatu ikatan yang tidak terpecahkan sebagai inti dari masyarakat. Dalam menyelenggarakan kehidupan bersama, suami istri perlu mencerminkan suatu kesatuan yang bulat termasuk dalam masalah kewarganegaraan. Berdasarkan asas ini diusahakan ststus kewarganegaraan suami dan istri adalah sama dan satu.
Penentuan kewarganegaraan yang berbeda-beda oleh setiap negara dapat menciptakan problem kewarganegaraan bagi seorang warga. Secara ringkas problem kewarganegaraan adalah munculnya apatride dan bipatride. Appatride adalah istilah untuk orang-orang yang tidak memiliki kewarganegaraan. Bipatride adalah istilah untuk orang-orang yang memiliki kewarganegaraan ganda (rangkap dua). Bahkan dapat muncul multipatride yaitu istilah untuk orang-orang yang memiliki kewarganegaraan yang banyak (lebih dari 2).
Adapun Undang-Undang yang mengatur tentang warga negara adalah Undang-Undang No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Pewarganegaraan adalah tatacara bagi orang asing untuk memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia melalui permohonan. Dalam Undang-Undang dinyatakan bahwa kewarganegaraan Republik Indonesia dapat juga diperoleh memalului pewarganegaraan.
Permohonan pewarganegaraan dapat diajukan oleh pemohon juika memenuhi persyaratan sebagai berikut: telah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin, pada waktu mengajukan permohonan sudah bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun berturut-turut atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut, sehat jasmani dan rohani, dapat berbahasa Indonesia serta mengakui dasar negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 1 (satu) tahun, jika dengan memperoleh kewarganegaraan Indonesia, tidak menjadi kewarganegaraan ganda, mempunyai pekerjaan dan/atau berpenghasilan tetap, membayar uang pewarganegaraan ke Kas Negara.
Hilangnya Kewarganegaraan Indonesia diantaranya; memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri, tidak menolak atau melepaskan kewarganegaraan lain, sedangkan orang yang bersangkutan mendapat kesempatan untuk itu, dinyatakan hilang kewarganegaraan oleh Presiden atas permohonannya sendiri, yang bersangkutan sudah berusia 18 tahun atau sudah kawin, bertempat tinggal di luar negeri dan dengan dinyatakan hilang kewarganegaraan Republik Indonesia tidak menjadi tanpa kewarganegaraan, masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden, secara sukarela masuk dalam dinas negara asing, yang jabatan dalam dinas semacam itu di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undngan hanya dapat dijabat oleh warga negara Indonesia, secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut, tidak diwajibkan tapi turut serta dalam pemilihan sesuatu yangbersifat ketatanegaraan untuk suatu negara asing, mempunyai paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing atau surat yang dapat diartikan sebagai tanda kewarganegaraan yang masih berlaku dari negara lain atas namanya, bertempat tinggal diluar wilayah negara republic Indonesia selama 5 (liama0 tahun berturut-turut bukan dalam rangaka dinas negara, tanpa alas an yang sah dan dengan sngaja tidak menyatakan keinginannya untuk tetap menjadi Warga Negara Indonedia sebelum jangka waktu 5(liama) tahun itu berakhir dan setiap 5 (lima) tahun berikutnya yang bersangkutan tidak mengajukan pernytaaan ingin tetap menjadi warga Negara Indonesia kepada perwakilan RI yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal yang bersangkutan padahal perwakilan RI tersebut telah memberitahukan secara tertulis kepada yang bersangkutan tidak menjadi tanpa kewarganegaraan.
PERAN PEMUDA DALAM MASYARAKAT
PEMUDA merupakan generasi penerus sebuah bangsa, kader bangsa, kader masyarakat dan kader keluarga. Pemuda selalu diidentikan dengan perubahan, betapa tidak peran pemuda dalam membangun bangsa ini, peran pemuda dalam menegakkan keadilan, peran pemuda yang menolak kekeuasaan.
Sejarah telah mencatat kiprah pemuda-pemuda yang tak kenal waktu yang selalu berjuang dengan penuh semangat biarpun jiwa raga menjadi taruhannya. Indonesia merdeka berkat pemuda-pemuda Indonesia yang berjuang seperti Ir. Sukarno, Moh. Hatta, Sutan Syahrir, Bung Tomo dan lain-lain dengan penuh mengorbankan dirinya untuk bangsa dan Negara.
Dalam sebuah pidatonya, Sukarno pernah mengorbakan semangat juang Pemuda apa kata Sukarno “Beri aku sepuluh pemuda, maka akan kugoncangkan dunia”. Begitu besar peranan pemuda di mata Sukarno, jika ada sembilan pemuda lagi maka Indonesia menjadi negara Super Power.
Satu tumpah darah, satu bangsa dan satu bahasa merupakan sumpah pemuda yang di ikrarkan pada tanggal 28 Oktober 1928. Begitu kompaknya pemuda Indonesia pada waktu itu, dan apakah semangat pemuda sekarang sudah mulai redup, seolah dalam kacamata negara dan masyarakat seolah-olah atau kesannya pemuda sekarang malu untuk mewarisi semangat nasionalisime. Hal tersebut di pengaruhi oleh Globalisasi yang penuh dengan tren.
Sukarno, Hatta, Syahrir seandainya mereka masih hidup pasti mereka menangis melihat semangat nasionalisme pemuda Indonesia sekarang yang selalu mementingkan kesenangan dan selalu mementikan diri sendiri.
Sekarang Pemuda lebih banyak melakukan peranan sebagai kelompok politik dan sedikit sekali yang melakukan peranan sebagai kelompok sosial, sehingga kemandirian pemuda sangat sulit berkembang dalam mengisi pembangunan ini.
Peranan pemuda dalam sosialisi bermasyrakat sungguh menurun dratis, dulu bisanya setiap ada kegiatan masyarakat seperti kerja bakti, acara-acara keagamaan, adat istiadat biasanya yang berperan aktif dalam menyukseskan acara tersebut adalah pemuda sekitar. Pemuda sekarang lebih suka dengan kesenangan, selalu bermain-main dan bahkan ketua RT/RW nya saja dia tidak tahu.
Kini pemuda pemudi kita lebih suka peranan di dunia maya ketimbang dunia nyata. Lebih suka nge Facebook, lebih suka aktif di mailing list, lebih suka di forum ketimbang duduk mufakat untuk kemajuan RT, RW, Kecamatan, Provinsi bahkan di tingkat lebih tinggi adalah Negara.
Selaku Pemuda kita dituntut aktif dalam kegiatan-kegiatan masyarakat, sosialisasi dengan warga sekitar. Kehadiran pemuda sangat dinantikan untuk menyokong perubahan dan pembaharuan bagi masyarakat dan negara. Aksi reformasi disemua bidang adalah agenda pemuda kearah masyarakat madani. Reformasi tidak mungkin dilakukan oleh orang tua dan anak-anak.
Dengan penuh harapan moga pemuda-pemudi dan generasi penerus harapan bangsa dapat menjelma menjadi sukarno-sukarno masa depan dengan samangat juang yang tinggi. Sebagai motor perjuangan bangsa..ammin ya Allah
Sejarah telah mencatat kiprah pemuda-pemuda yang tak kenal waktu yang selalu berjuang dengan penuh semangat biarpun jiwa raga menjadi taruhannya. Indonesia merdeka berkat pemuda-pemuda Indonesia yang berjuang seperti Ir. Sukarno, Moh. Hatta, Sutan Syahrir, Bung Tomo dan lain-lain dengan penuh mengorbankan dirinya untuk bangsa dan Negara.
Dalam sebuah pidatonya, Sukarno pernah mengorbakan semangat juang Pemuda apa kata Sukarno “Beri aku sepuluh pemuda, maka akan kugoncangkan dunia”. Begitu besar peranan pemuda di mata Sukarno, jika ada sembilan pemuda lagi maka Indonesia menjadi negara Super Power.
Satu tumpah darah, satu bangsa dan satu bahasa merupakan sumpah pemuda yang di ikrarkan pada tanggal 28 Oktober 1928. Begitu kompaknya pemuda Indonesia pada waktu itu, dan apakah semangat pemuda sekarang sudah mulai redup, seolah dalam kacamata negara dan masyarakat seolah-olah atau kesannya pemuda sekarang malu untuk mewarisi semangat nasionalisime. Hal tersebut di pengaruhi oleh Globalisasi yang penuh dengan tren.
Sukarno, Hatta, Syahrir seandainya mereka masih hidup pasti mereka menangis melihat semangat nasionalisme pemuda Indonesia sekarang yang selalu mementingkan kesenangan dan selalu mementikan diri sendiri.
Sekarang Pemuda lebih banyak melakukan peranan sebagai kelompok politik dan sedikit sekali yang melakukan peranan sebagai kelompok sosial, sehingga kemandirian pemuda sangat sulit berkembang dalam mengisi pembangunan ini.
Peranan pemuda dalam sosialisi bermasyrakat sungguh menurun dratis, dulu bisanya setiap ada kegiatan masyarakat seperti kerja bakti, acara-acara keagamaan, adat istiadat biasanya yang berperan aktif dalam menyukseskan acara tersebut adalah pemuda sekitar. Pemuda sekarang lebih suka dengan kesenangan, selalu bermain-main dan bahkan ketua RT/RW nya saja dia tidak tahu.
Kini pemuda pemudi kita lebih suka peranan di dunia maya ketimbang dunia nyata. Lebih suka nge Facebook, lebih suka aktif di mailing list, lebih suka di forum ketimbang duduk mufakat untuk kemajuan RT, RW, Kecamatan, Provinsi bahkan di tingkat lebih tinggi adalah Negara.
Selaku Pemuda kita dituntut aktif dalam kegiatan-kegiatan masyarakat, sosialisasi dengan warga sekitar. Kehadiran pemuda sangat dinantikan untuk menyokong perubahan dan pembaharuan bagi masyarakat dan negara. Aksi reformasi disemua bidang adalah agenda pemuda kearah masyarakat madani. Reformasi tidak mungkin dilakukan oleh orang tua dan anak-anak.
Dengan penuh harapan moga pemuda-pemudi dan generasi penerus harapan bangsa dapat menjelma menjadi sukarno-sukarno masa depan dengan samangat juang yang tinggi. Sebagai motor perjuangan bangsa..ammin ya Allah
PERAN PEMUDA DALAM MASYARAKAT
PEMUDA merupakan generasi penerus sebuah bangsa, kader bangsa, kader masyarakat dan kader keluarga. Pemuda selalu diidentikan dengan perubahan, betapa tidak peran pemuda dalam membangun bangsa ini, peran pemuda dalam menegakkan keadilan, peran pemuda yang menolak kekeuasaan.
Sejarah telah mencatat kiprah pemuda-pemuda yang tak kenal waktu yang selalu berjuang dengan penuh semangat biarpun jiwa raga menjadi taruhannya. Indonesia merdeka berkat pemuda-pemuda Indonesia yang berjuang seperti Ir. Sukarno, Moh. Hatta, Sutan Syahrir, Bung Tomo dan lain-lain dengan penuh mengorbankan dirinya untuk bangsa dan Negara.
Dalam sebuah pidatonya, Sukarno pernah mengorbakan semangat juang Pemuda apa kata Sukarno “Beri aku sepuluh pemuda, maka akan kugoncangkan dunia”. Begitu besar peranan pemuda di mata Sukarno, jika ada sembilan pemuda lagi maka Indonesia menjadi negara Super Power.
Satu tumpah darah, satu bangsa dan satu bahasa merupakan sumpah pemuda yang di ikrarkan pada tanggal 28 Oktober 1928. Begitu kompaknya pemuda Indonesia pada waktu itu, dan apakah semangat pemuda sekarang sudah mulai redup, seolah dalam kacamata negara dan masyarakat seolah-olah atau kesannya pemuda sekarang malu untuk mewarisi semangat nasionalisime. Hal tersebut di pengaruhi oleh Globalisasi yang penuh dengan tren.
Sukarno, Hatta, Syahrir seandainya mereka masih hidup pasti mereka menangis melihat semangat nasionalisme pemuda Indonesia sekarang yang selalu mementingkan kesenangan dan selalu mementikan diri sendiri.
Sekarang Pemuda lebih banyak melakukan peranan sebagai kelompok politik dan sedikit sekali yang melakukan peranan sebagai kelompok sosial, sehingga kemandirian pemuda sangat sulit berkembang dalam mengisi pembangunan ini.
Peranan pemuda dalam sosialisi bermasyrakat sungguh menurun dratis, dulu bisanya setiap ada kegiatan masyarakat seperti kerja bakti, acara-acara keagamaan, adat istiadat biasanya yang berperan aktif dalam menyukseskan acara tersebut adalah pemuda sekitar. Pemuda sekarang lebih suka dengan kesenangan, selalu bermain-main dan bahkan ketua RT/RW nya saja dia tidak tahu.
Kini pemuda pemudi kita lebih suka peranan di dunia maya ketimbang dunia nyata. Lebih suka nge Facebook, lebih suka aktif di mailing list, lebih suka di forum ketimbang duduk mufakat untuk kemajuan RT, RW, Kecamatan, Provinsi bahkan di tingkat lebih tinggi adalah Negara.
Selaku Pemuda kita dituntut aktif dalam kegiatan-kegiatan masyarakat, sosialisasi dengan warga sekitar. Kehadiran pemuda sangat dinantikan untuk menyokong perubahan dan pembaharuan bagi masyarakat dan negara. Aksi reformasi disemua bidang adalah agenda pemuda kearah masyarakat madani. Reformasi tidak mungkin dilakukan oleh orang tua dan anak-anak.
Dengan penuh harapan moga pemuda-pemudi dan generasi penerus harapan bangsa dapat menjelma menjadi sukarno-sukarno masa depan dengan samangat juang yang tinggi. Sebagai motor perjuangan bangsa..ammin ya Allah
Sejarah telah mencatat kiprah pemuda-pemuda yang tak kenal waktu yang selalu berjuang dengan penuh semangat biarpun jiwa raga menjadi taruhannya. Indonesia merdeka berkat pemuda-pemuda Indonesia yang berjuang seperti Ir. Sukarno, Moh. Hatta, Sutan Syahrir, Bung Tomo dan lain-lain dengan penuh mengorbankan dirinya untuk bangsa dan Negara.
Dalam sebuah pidatonya, Sukarno pernah mengorbakan semangat juang Pemuda apa kata Sukarno “Beri aku sepuluh pemuda, maka akan kugoncangkan dunia”. Begitu besar peranan pemuda di mata Sukarno, jika ada sembilan pemuda lagi maka Indonesia menjadi negara Super Power.
Satu tumpah darah, satu bangsa dan satu bahasa merupakan sumpah pemuda yang di ikrarkan pada tanggal 28 Oktober 1928. Begitu kompaknya pemuda Indonesia pada waktu itu, dan apakah semangat pemuda sekarang sudah mulai redup, seolah dalam kacamata negara dan masyarakat seolah-olah atau kesannya pemuda sekarang malu untuk mewarisi semangat nasionalisime. Hal tersebut di pengaruhi oleh Globalisasi yang penuh dengan tren.
Sukarno, Hatta, Syahrir seandainya mereka masih hidup pasti mereka menangis melihat semangat nasionalisme pemuda Indonesia sekarang yang selalu mementingkan kesenangan dan selalu mementikan diri sendiri.
Sekarang Pemuda lebih banyak melakukan peranan sebagai kelompok politik dan sedikit sekali yang melakukan peranan sebagai kelompok sosial, sehingga kemandirian pemuda sangat sulit berkembang dalam mengisi pembangunan ini.
Peranan pemuda dalam sosialisi bermasyrakat sungguh menurun dratis, dulu bisanya setiap ada kegiatan masyarakat seperti kerja bakti, acara-acara keagamaan, adat istiadat biasanya yang berperan aktif dalam menyukseskan acara tersebut adalah pemuda sekitar. Pemuda sekarang lebih suka dengan kesenangan, selalu bermain-main dan bahkan ketua RT/RW nya saja dia tidak tahu.
Kini pemuda pemudi kita lebih suka peranan di dunia maya ketimbang dunia nyata. Lebih suka nge Facebook, lebih suka aktif di mailing list, lebih suka di forum ketimbang duduk mufakat untuk kemajuan RT, RW, Kecamatan, Provinsi bahkan di tingkat lebih tinggi adalah Negara.
Selaku Pemuda kita dituntut aktif dalam kegiatan-kegiatan masyarakat, sosialisasi dengan warga sekitar. Kehadiran pemuda sangat dinantikan untuk menyokong perubahan dan pembaharuan bagi masyarakat dan negara. Aksi reformasi disemua bidang adalah agenda pemuda kearah masyarakat madani. Reformasi tidak mungkin dilakukan oleh orang tua dan anak-anak.
Dengan penuh harapan moga pemuda-pemudi dan generasi penerus harapan bangsa dapat menjelma menjadi sukarno-sukarno masa depan dengan samangat juang yang tinggi. Sebagai motor perjuangan bangsa..ammin ya Allah
Minggu, 24 Oktober 2010
VIAR
NOVI YANTI
2SA03
16609262
SENI BATIK
Kata "batik" berasal dari gabungan dua kata bahasa Jawa: "amba", yang bermakna "menulis" dan "titik" yang bermakna "titik". Batik adalah salah satu cara pembuatan bahan pakaian. Selain itu batik bisa mengacu pada dua hal. Yang pertama adalah teknik pewarnaan kain dengan menggunakan malam untuk mencegah pewarnaan sebagian dari kain. Dalam literatur internasional, teknik ini dikenal sebagai wax-resist dyeing. Pengertian kedua adalah kain atau busana yang dibuat dengan teknik tersebut, termasuk penggunaan motif-motif tertentu yang memiliki kekhasan. Batik Indonesia, sebagai keseluruhan teknik, teknologi, serta pengembangan motif dan budaya yang terkait, oleh UNESCO telah ditetapkan sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity) sejak 2 Oktober, 2009.
Sejarah teknik batik
Seni pewarnaan kain dengan teknik pencegahan pewarnaan menggunakan malam adalah salah satu bentuk seni kuno.
Penemuan di Mesir menunjukkan bahwa teknik ini telah dikenal semenjak abad ke-4 SM, dengan diketemukannya kain pembungkus mumi yang juga dilapisi malam untuk membentuk pola.Di Asia, teknik serupa batik juga diterapkan di Tiongkok semasa Dinasti T'ang (618-907) serta di India dan Jepang semasa Periode Nara (645-794). Di Afrika, teknik seperti batik dikenal oleh Suku Yoruba di Nigeria, serta Suku Soninke dan Wolof di Senegal.[2]. Di Indonesia, batik dipercaya sudah ada semenjak zaman Majapahit, dan menjadi sangat populer akhir abad XVIII atau awal abad XIX. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal abad XX dan batik cap baru dikenal setelah Perang Dunia I atau sekitar tahun 1920-an.
Walaupun kata "batik" berasal dari bahasa Jawa, kehadiran batik di Jawa sendiri tidaklah tercatat. G.P. Rouffaer berpendapat bahwa tehnik batik ini kemungkinan diperkenalkan dari India atau Srilangka pada abad ke-6 atau ke-7. G.P. Rouffaer juga melaporkan bahwa pola gringsing sudah dikenal sejak abad ke-12 di Kediri, Jawa Timur.
Legenda dalam literatur Melayu abad ke-17,Sulalatus Salatin menceritakan Laksamana Hang Nadim yang diperintahkan oleh Sultan Mahmud untuk berlayar ke India agar mendapatkan 140 lembar kain serasah dengan pola 40 jenis bunga pada setiap lembarnya. Karena tidak mampu memenuhi perintah itu, dia membuat sendiri kain-kain itu. Namun sayangnya kapalnya karam dalam perjalanan pulang dan hanya mampu membawa empat lembar sehingga membuat sang Sultan kecewa.[5] Oleh beberapa penafsir,who? serasah itu ditafsirkan sebagai batik.
Dalam literatur Eropa, teknik batik ini pertama kali diceritakan dalam buku History of Java (London, 1817) tulisan Sir Thomas Stamford Raffles. Ia pernah menjadi Gubernur Inggris di Jawa semasa Napoleon menduduki Belanda. Pada 1873 seorang saudagar Belanda Van Rijekevorsel memberikan selembar batik yang diperolehnya saat berkunjung ke Indonesia ke Museum Etnik di Rotterdam dan pada awal abad ke-19 itulah batik mulai mencapai masa keemasannya. Sewaktu dipamerkan di Exposition Universelle di Paris pada tahun 1900, batik Indonesia memukau publik dan seniman.
Semenjak industrialisasi dan globalisasi, yang memperkenalkan teknik otomatisasi, batik jenis baru muncul, dikenal sebagai batik cap dan batik cetak, sementara batik tradisional yang diproduksi dengan teknik tulisan tangan menggunakan canting dan malam disebut batik tulis. Pada saat yang sama imigran dari Indonesia ke Persekutuan Malaya juga membawa batik bersama mereka.
Budaya batik
Tradisi membatik pada mulanya merupakan tradisi yang turun temurun, sehingga kadang kala suatu motif dapat dikenali berasal dari batik keluarga tertentu. Beberapa motif batik dapat menunjukkan status seseorang. Bahkan sampai saat ini, beberapa motif batik tadisional hanya dipakai oleh keluarga keraton Yogyakarta dan Surakarta.Batik merupakan warisan nenek moyang Indonesia ( Jawa ) yang sampai saat ini masih ada. Batik juga pertama kali diperkenalkan kepada dunia oleh Presiden Soeharto, yang pada waktu itu memakai batik pada Konferensi PBB.
Corak batik
Ragam corak dan warna Batik dipengaruhi oleh berbagai pengaruh asing. Awalnya, batik memiliki ragam corak dan warna yang terbatas, dan beberapa corak hanya boleh dipakai oleh kalangan tertentu. Namun batik pesisir menyerap berbagai pengaruh luar, seperti para pedagang asing dan juga pada akhirnya, para penjajah. Warna-warna cerah seperti merah dipopulerkan oleh Tionghoa, yang juga mempopulerkan corak phoenix. Bangsa penjajah Eropa juga mengambil minat kepada batik, dan hasilnya adalah corak bebungaan yang sebelumnya tidak dikenal (seperti bunga tulip) dan juga benda-benda yang dibawa oleh penjajah (gedung atau kereta kuda), termasuk juga warna-warna kesukaan mereka seperti warna biru. Batik tradisonal tetap mempertahankan coraknya, dan masih dipakai dalam upacara-upacara adat, karena biasanya masing-masing corak memiliki perlambangan masing-masing.
2SA03
16609262
SENI BATIK
Kata "batik" berasal dari gabungan dua kata bahasa Jawa: "amba", yang bermakna "menulis" dan "titik" yang bermakna "titik". Batik adalah salah satu cara pembuatan bahan pakaian. Selain itu batik bisa mengacu pada dua hal. Yang pertama adalah teknik pewarnaan kain dengan menggunakan malam untuk mencegah pewarnaan sebagian dari kain. Dalam literatur internasional, teknik ini dikenal sebagai wax-resist dyeing. Pengertian kedua adalah kain atau busana yang dibuat dengan teknik tersebut, termasuk penggunaan motif-motif tertentu yang memiliki kekhasan. Batik Indonesia, sebagai keseluruhan teknik, teknologi, serta pengembangan motif dan budaya yang terkait, oleh UNESCO telah ditetapkan sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity) sejak 2 Oktober, 2009.
Sejarah teknik batik
Seni pewarnaan kain dengan teknik pencegahan pewarnaan menggunakan malam adalah salah satu bentuk seni kuno.
Penemuan di Mesir menunjukkan bahwa teknik ini telah dikenal semenjak abad ke-4 SM, dengan diketemukannya kain pembungkus mumi yang juga dilapisi malam untuk membentuk pola.Di Asia, teknik serupa batik juga diterapkan di Tiongkok semasa Dinasti T'ang (618-907) serta di India dan Jepang semasa Periode Nara (645-794). Di Afrika, teknik seperti batik dikenal oleh Suku Yoruba di Nigeria, serta Suku Soninke dan Wolof di Senegal.[2]. Di Indonesia, batik dipercaya sudah ada semenjak zaman Majapahit, dan menjadi sangat populer akhir abad XVIII atau awal abad XIX. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal abad XX dan batik cap baru dikenal setelah Perang Dunia I atau sekitar tahun 1920-an.
Walaupun kata "batik" berasal dari bahasa Jawa, kehadiran batik di Jawa sendiri tidaklah tercatat. G.P. Rouffaer berpendapat bahwa tehnik batik ini kemungkinan diperkenalkan dari India atau Srilangka pada abad ke-6 atau ke-7. G.P. Rouffaer juga melaporkan bahwa pola gringsing sudah dikenal sejak abad ke-12 di Kediri, Jawa Timur.
Legenda dalam literatur Melayu abad ke-17,Sulalatus Salatin menceritakan Laksamana Hang Nadim yang diperintahkan oleh Sultan Mahmud untuk berlayar ke India agar mendapatkan 140 lembar kain serasah dengan pola 40 jenis bunga pada setiap lembarnya. Karena tidak mampu memenuhi perintah itu, dia membuat sendiri kain-kain itu. Namun sayangnya kapalnya karam dalam perjalanan pulang dan hanya mampu membawa empat lembar sehingga membuat sang Sultan kecewa.[5] Oleh beberapa penafsir,who? serasah itu ditafsirkan sebagai batik.
Dalam literatur Eropa, teknik batik ini pertama kali diceritakan dalam buku History of Java (London, 1817) tulisan Sir Thomas Stamford Raffles. Ia pernah menjadi Gubernur Inggris di Jawa semasa Napoleon menduduki Belanda. Pada 1873 seorang saudagar Belanda Van Rijekevorsel memberikan selembar batik yang diperolehnya saat berkunjung ke Indonesia ke Museum Etnik di Rotterdam dan pada awal abad ke-19 itulah batik mulai mencapai masa keemasannya. Sewaktu dipamerkan di Exposition Universelle di Paris pada tahun 1900, batik Indonesia memukau publik dan seniman.
Semenjak industrialisasi dan globalisasi, yang memperkenalkan teknik otomatisasi, batik jenis baru muncul, dikenal sebagai batik cap dan batik cetak, sementara batik tradisional yang diproduksi dengan teknik tulisan tangan menggunakan canting dan malam disebut batik tulis. Pada saat yang sama imigran dari Indonesia ke Persekutuan Malaya juga membawa batik bersama mereka.
Budaya batik
Tradisi membatik pada mulanya merupakan tradisi yang turun temurun, sehingga kadang kala suatu motif dapat dikenali berasal dari batik keluarga tertentu. Beberapa motif batik dapat menunjukkan status seseorang. Bahkan sampai saat ini, beberapa motif batik tadisional hanya dipakai oleh keluarga keraton Yogyakarta dan Surakarta.Batik merupakan warisan nenek moyang Indonesia ( Jawa ) yang sampai saat ini masih ada. Batik juga pertama kali diperkenalkan kepada dunia oleh Presiden Soeharto, yang pada waktu itu memakai batik pada Konferensi PBB.
Corak batik
Ragam corak dan warna Batik dipengaruhi oleh berbagai pengaruh asing. Awalnya, batik memiliki ragam corak dan warna yang terbatas, dan beberapa corak hanya boleh dipakai oleh kalangan tertentu. Namun batik pesisir menyerap berbagai pengaruh luar, seperti para pedagang asing dan juga pada akhirnya, para penjajah. Warna-warna cerah seperti merah dipopulerkan oleh Tionghoa, yang juga mempopulerkan corak phoenix. Bangsa penjajah Eropa juga mengambil minat kepada batik, dan hasilnya adalah corak bebungaan yang sebelumnya tidak dikenal (seperti bunga tulip) dan juga benda-benda yang dibawa oleh penjajah (gedung atau kereta kuda), termasuk juga warna-warna kesukaan mereka seperti warna biru. Batik tradisonal tetap mempertahankan coraknya, dan masih dipakai dalam upacara-upacara adat, karena biasanya masing-masing corak memiliki perlambangan masing-masing.
Kamis, 21 Oktober 2010
reading
THEORY READING
Pre-reading tips
Before the actual act of reading a text begins, some points should be regarded in order to make the process of reading more comprehensible. It is necessary to provide the necessary background information to the reader to facilitate comprehension. In addition, as stated by Lebauer (1998), pre-reading activities can lighten students' cognitive burden while reading because prior discussions will have been incorporated.
• Teacher-directed pre-reading (Estes, 1999)
Some key vocabulary and ideas in the text are explained. In this approach the teacher directly explains the information the students will need, including key concepts, important vocabulary, and appropriate conceptual framework.
• Interactive approach (Estes, 1999)
In this method, the teacher leads a discussion in which he/she draws out the information students already have and interjects additional information deemed necessary to an understanding of the text to be read. Moreover, the teacher can make explicit links between prior knowledge and important information in the text.
• Purpose of reading
It is also necessary for students to become aware of the purpose and goal for reading a certain piece of written material. At the beginning stages this can be done by the teacher, but as the reader becomes more mature this purpose, i.e. awareness-raising strategy, can be left to the readers. For instance, the students may be guided to ask themselves, "Why am I reading this text? What do I want to know or do after reading?"
One of the most obvious, but unnoticed, points related to reading purpose is the consideration of the different types of reading skills.
o Skimming: Reading rapidly for the main points
o Scanning: Reading rapidly to find a specific piece of information
o Extensive reading: Reading a longer text, often for pleasure with emphasis on overall meaning
o Intensive reading: Reading a short text for detailed information
o
• The most frequently encountered reason as to why the four skills are all subsumed into one – intensive reading – is that students studying a foreign language feel the urge to look up every word they don't understand and to pinpoint on every structural point they see unfamiliar. To make students aware of the different types of reading, ask them about the types of reading they do in their first language.
• The type of text
The reader must become familiar with the fact that texts may take on different forms and hold certain pieces of information in different places. Thus, it is necessary to understand the layout of the material being read in order to focus more deeply on the parts that are more densely compacted with information.
Steinhofer (1996) stated that the tips mentioned in pre-reading will not take a very long time to carry out. The purpose is to overcome the common urge to start reading a text closely right away from the beginning.
During-reading tips
What follows are tips that encourage active reading. They consist of summarizing, reacting, questioning, arguing, evaluating, and placing a text within one's own experience. These processes may be the most complex to develop in a classroom setting, the reason being that in English reading classes most attention is often paid to dictionaries, the text, and the teacher. Interrupting this routine and encouraging students to dialogue with what they are reading without coming between them and the text presents a challenge to the EFL teacher. Duke and Pearson (2001) have stated that good readers are active readers. According to Ur (1996), Vaezi (2001), and Fitzgerald (1995), they use the following strategies.
• Making predictions: The readers should be taught to be on the watch to predict what is going to happen next in the text to be able to integrate and combine what has come with what is to come.
• Making selections: Readers who are more proficient read selectively, continually making decisions about their reading.
• Integrating prior knowledge: The schemata that have been activated in the pre-reading section should be called upon to facilitate comprehension.
• Skipping insignificant parts: A good reader will concentrate on significant pieces of information while skipping insignificant pieces.
• Re-reading: Readers should be encouraged to become sensitive to the effect of reading on their comprehension.
• Making use of context or guessing: Readers should not be encouraged to define and understand every single unknown word in a text. Instead they should learn to make use of context to guess the meaning of unknown words.
• Breaking words into their component parts: To keep the process of comprehension ongoing, efficient readers break words into their affixes or bases. These parts can help readers guess the meaning of a word.
• Reading in chunks: To ensure reading speed, readers should get used to reading groups of words together. This act will also enhance comprehension by focusing on groups of meaning-conveying symbols simultaneously.
• Pausing: Good readers will pause at certain places while reading a text to absorb and internalize the material being read and sort out information.
• Paraphrasing: While reading texts it may be necessary to paraphrase and interpret texts subvocally in order to verify what was comprehended.
• Monitoring: Good readers monitor their understanding to evaluate whether the text, or the reading of it, is meeting their goals.
After-reading tips
It is necessary to state that post-reading activities almost always depend on the purpose of reading and the type of information extracted from the text. Barnett (1988) has stated that post-reading exercises first check students' comprehension and then lead students to a deeper analysis of the text. In the real world the purpose of reading is not to memorize an author's point of view or to summarize text content, but rather to see into another mind, or to mesh new information into what one already knows. Group discussion will help students focus on information they did not comprehend, or did comprehend correctly. Accordingly, attention will be focused on processes that lead to comprehension or miscomprehension. Generally speaking, post-reading can take the form of various activities as presented below:
• Discussing the text: Written/Oral
• Summarizing: Written/Oral
• Making questions: Written/Oral
• Answering questions: Written/Oral
• Filling in forms and charts
• Writing reading logs
• Completing a text
• Listening to or reading other related materials
• Role-playing
Pre-reading tips
Before the actual act of reading a text begins, some points should be regarded in order to make the process of reading more comprehensible. It is necessary to provide the necessary background information to the reader to facilitate comprehension. In addition, as stated by Lebauer (1998), pre-reading activities can lighten students' cognitive burden while reading because prior discussions will have been incorporated.
• Teacher-directed pre-reading (Estes, 1999)
Some key vocabulary and ideas in the text are explained. In this approach the teacher directly explains the information the students will need, including key concepts, important vocabulary, and appropriate conceptual framework.
• Interactive approach (Estes, 1999)
In this method, the teacher leads a discussion in which he/she draws out the information students already have and interjects additional information deemed necessary to an understanding of the text to be read. Moreover, the teacher can make explicit links between prior knowledge and important information in the text.
• Purpose of reading
It is also necessary for students to become aware of the purpose and goal for reading a certain piece of written material. At the beginning stages this can be done by the teacher, but as the reader becomes more mature this purpose, i.e. awareness-raising strategy, can be left to the readers. For instance, the students may be guided to ask themselves, "Why am I reading this text? What do I want to know or do after reading?"
One of the most obvious, but unnoticed, points related to reading purpose is the consideration of the different types of reading skills.
o Skimming: Reading rapidly for the main points
o Scanning: Reading rapidly to find a specific piece of information
o Extensive reading: Reading a longer text, often for pleasure with emphasis on overall meaning
o Intensive reading: Reading a short text for detailed information
o
• The most frequently encountered reason as to why the four skills are all subsumed into one – intensive reading – is that students studying a foreign language feel the urge to look up every word they don't understand and to pinpoint on every structural point they see unfamiliar. To make students aware of the different types of reading, ask them about the types of reading they do in their first language.
• The type of text
The reader must become familiar with the fact that texts may take on different forms and hold certain pieces of information in different places. Thus, it is necessary to understand the layout of the material being read in order to focus more deeply on the parts that are more densely compacted with information.
Steinhofer (1996) stated that the tips mentioned in pre-reading will not take a very long time to carry out. The purpose is to overcome the common urge to start reading a text closely right away from the beginning.
During-reading tips
What follows are tips that encourage active reading. They consist of summarizing, reacting, questioning, arguing, evaluating, and placing a text within one's own experience. These processes may be the most complex to develop in a classroom setting, the reason being that in English reading classes most attention is often paid to dictionaries, the text, and the teacher. Interrupting this routine and encouraging students to dialogue with what they are reading without coming between them and the text presents a challenge to the EFL teacher. Duke and Pearson (2001) have stated that good readers are active readers. According to Ur (1996), Vaezi (2001), and Fitzgerald (1995), they use the following strategies.
• Making predictions: The readers should be taught to be on the watch to predict what is going to happen next in the text to be able to integrate and combine what has come with what is to come.
• Making selections: Readers who are more proficient read selectively, continually making decisions about their reading.
• Integrating prior knowledge: The schemata that have been activated in the pre-reading section should be called upon to facilitate comprehension.
• Skipping insignificant parts: A good reader will concentrate on significant pieces of information while skipping insignificant pieces.
• Re-reading: Readers should be encouraged to become sensitive to the effect of reading on their comprehension.
• Making use of context or guessing: Readers should not be encouraged to define and understand every single unknown word in a text. Instead they should learn to make use of context to guess the meaning of unknown words.
• Breaking words into their component parts: To keep the process of comprehension ongoing, efficient readers break words into their affixes or bases. These parts can help readers guess the meaning of a word.
• Reading in chunks: To ensure reading speed, readers should get used to reading groups of words together. This act will also enhance comprehension by focusing on groups of meaning-conveying symbols simultaneously.
• Pausing: Good readers will pause at certain places while reading a text to absorb and internalize the material being read and sort out information.
• Paraphrasing: While reading texts it may be necessary to paraphrase and interpret texts subvocally in order to verify what was comprehended.
• Monitoring: Good readers monitor their understanding to evaluate whether the text, or the reading of it, is meeting their goals.
After-reading tips
It is necessary to state that post-reading activities almost always depend on the purpose of reading and the type of information extracted from the text. Barnett (1988) has stated that post-reading exercises first check students' comprehension and then lead students to a deeper analysis of the text. In the real world the purpose of reading is not to memorize an author's point of view or to summarize text content, but rather to see into another mind, or to mesh new information into what one already knows. Group discussion will help students focus on information they did not comprehend, or did comprehend correctly. Accordingly, attention will be focused on processes that lead to comprehension or miscomprehension. Generally speaking, post-reading can take the form of various activities as presented below:
• Discussing the text: Written/Oral
• Summarizing: Written/Oral
• Making questions: Written/Oral
• Answering questions: Written/Oral
• Filling in forms and charts
• Writing reading logs
• Completing a text
• Listening to or reading other related materials
• Role-playing
ILMU SOSIAL DASAR
PENGARUH LINGKUNGAN TERHADAP PEMBENTUKAN KEPRIBADIAN ANAK
Dalam perkembangan hidupnya, manusia di pengaruhi oleh hal-hal yang berasal dari dirinya sendiri (internal) dan faktor-faktor yang berasal dari luar diri pribadinya (eksternal). Istilah lingkungan psikologi sosial menunjukkan hubungan antara aspek pribadi dan aspek sosial. Lingkungan budaya secara sosiologis merupakan hasil lingkungan sosial, karena jika di lihat dari sudut sosiologis kebudayaan merupakan hasil pergaulan hidup dalam wadah-wadah yang sering di sebut kelompok sosial atau masyarakat.
A. Pengaruh Lingkungan Keluarga (orang tua)
Lingkungan pertama yang berhubungan dengan anak adalah orang tuanya. Melalui lingkungan inilah anak mengenal dunia sekitarnya dan pola pergaulan hidup yang berlaku sehari-hari. Melalui lingkungan kelurga inilah anak mengalami proses sosialisasi awal. Orang tua biasanya mencurahkan perhatiannya untuk mendidik anak, agar anak tersebut meperoleh dasar-dasar pergaulan hidup yang benar dan baik, melalui penanaman I siplin dan kebebasan serta penyerasiannya. Pada saat ini orang tua dan anggota keluarga lainnya melakukan sosialisasi melalui kasih sayang, atas dasar kasih sayang itu didik untuk mengenal nilai-nilai tertentu, seperti nilai ketertiban, nilai ketentraman dan nilai yang lainnya. Keluarga juga merupakan pelaksana pengawasan sosial yang penting. Banyak norma-norma kelompok yang di pelajari dalam keluarga dan dengan demikian merupakan pembatas tingkah laku yang sesuai. Kebiasaan-kebiasaan, adat istiadat dan kontrol kelembagaan yan mengatur peradilan, perkawinan, peranan-peranan pribadi maupun umum dari suami dan istri merupakan pelajaran yang luas di dalam keluarga.
Motivasi dan keberhasilan studi salah satunya di pengaruhi oleh lingkungan keluarga, apakah orang tua terlalu mementingkan disiplin atau memberikan kebebasan dari pada di siplin, ternyata keserasian atau keseimbangan keduanya sangat di perlukan.
Ada beberapa kritik anak pada orang tua, yaitu :
* Orang tua telalu kolot, ada juga yang mengatakan orang tua terlalu bebas
* Orang tua hanya memberikan nasehat
* Orang tua selalu menuntut hasil atau nilai sekolah baik
Peranan yang di harapkan dari orang tua bagi anak adalah :
1. Peranan Ayah
Di Indonesia, seorang ayah di anggap sebagai kepala keluarga yang di harapkan mempunyai sifat-sifat kepemimpinan yang baik. Sesuai dengan ajaran-ajaran tradisional (= jawa), maka seorang pemimpin harus dapat memberikan teladan yang baik (“ing ngarso sung tulodo”), memberikan semangat sehingga pengikut (anggota keluarga) itu kreatif (‘ing madyo bangun karso”), dan membimbing (“tut wuri handayani”). Sebagai seorang pemimpin di dalam rumah tangga, maka seorang ayah harus mengerti serta memahami kepentingan-kepentingan dari keluarga yang di pimpinnya.
Walaupun seorang anak tidak dengan terang-terangan meminta ayahnya untuk bersikap demikian tetapi pada umumnya anak-anak mengharapkan bahwa fungsi-fungsi tersebut dapat berjalan. Di dalam proses sosialisasi, seorang ayah dapat harus dapat menanamkan hal-hal yang kelak di kemudian hari, merupakan modal utama untuk dapat bertahan sendiri. Misalnya nilai kejujuran, nilai kewibawaan dan rasa tanggung jawab.
2. Peranan Ibu
Peranan seorang ibu pada masa anak-anak sangat besar sekali. Wlaupun demikian, ada suatu kecenderungan bahwa peranan ibu mulai berubah, terutama di kota-kota besar di Indonesia. Perubahan-perubahan tersebut antara lain di sebabkan, karena hal-hal sebagai berikut :
* Kesempatan untuk bekaerja semakin banyak bagi para wanita
* Adanya lembaga-lembaga pendidikan lanjutan yang terbuka bagi para wanita
* Di bentuknya organisasi-organisasi wanita yang ada kaitannya dari tempat bekerja suami.
Fungsi Lingkungan Keluarga :
Pada dasarnya keluarga mempunyai funsi-fungsi pokok yang sulit rubah dan di gantikan oleh orang lain. Fungsi-fungsi pokok tersebut antara lain :
1. Fungsi Biologik
Keluarga merupakan tempat lahirnya anak-anak, fungsi biologik orang tua ialah melahirkan anak. Fungsi ini merupakan dasar kelangsungan hidup masyarakat. Namun fungsi ini mengalami perubahan, karena keluarga sekarang cenderung kepada jumlah anak yang sedikit ini. Hal ini di pengaruhi oleh faktor-faktor :
ü Perubahan tempat tinggal keluarga dari desa ke kota
ü Makin sulitnya fasilitas perumahan
ü Banyaknya anak di pandang sebagai hambatan untuk mencapai sukses material keluarga
ü Meningkatnya taraf pendidikan wanita berakibat kurangnya fertilitanya
ü berubahnya dorongan daari agama agar keluarga mempunyai bayak anak
ü makin banyaknya ibu-ibu yang bekerja di luar rumah
ü makin meluasnya pengetahuan dan penggunaan alat-alat kontrasepsi
1. Fungsi Afeksi
Hubunagn afeksi ini tumbuh sebagai akibat hubungan cinta kasih yang menjadi dasar perkawinan. Dari hubungan afeksi ini lahirnya hubungan persaudaraan, persahabatan, kebiasaan, identifikasi, persamaan pandanan mengenai nilai-nilai. Dasar cinta kasih dan hubungan afeksi inimerupakan faktor penting bagi perkembangan pribadi anak. Dalam masyarakat yan makin impersonal, sekuler dan asing, pribadi sangat membutuhkan hubungan afeksi seperti yang terdapat dalam keluarga, suasana afeksi itu tidak terdapat dalam institusi sosial yang lain.
1. Fungsi sosialisasi
Fungsi sosialisasi ini menunjuk peranan kelurga dalam membentuk kepribadian anak. Melalui interaksi sosial dalam keluarga itu anak mempelajaripola-pola tingkah laku, sikap, keyakinan, cita-cita dan nilai-nilai dalam masyarakat dalam rangka perkembangan pribadinya.
Sedangkan Mac Iver and Page mengatakan the “Primary Function” dari keluarga modern adalah :
ü Prokreasi dan memperhatikan serta membesarkan anak
ü Kepuasan yang lebih stabil dari kebutuhan seks masing-masing pasangan
ü Bagian dari rumah tangga, dengan gabungan materialnya. Kebudayaan dan kasih sayang.
©
B. Lingkungan Sosial
Lingkungan sosial adalah segala faktor eksternal yang mempengaruhi perkembangan pribadi manusia, yang berasal dari luar diri pribadi. Secara konsepsional, maka lingkungan sosial mencakup unsur-unsur :
© Proses sosial
Inti proses sosial adalah interaksi sosial yang merupakan proses hubungan timbale balik antar pribadi, antar kelompok dan antar pribadi dengan kelompok.
© Struktur sosial
Struktur sosial menjadi landasan lingkungan sosial, oleh karena mencakup aspek-aspek sosial yang pokok yakni kelompok sosial, kebudayaan, lembaga-lembaga sosial, stratifikasi sosial, kekuasaan dan wewenang.
© Perubahan-perubahan sosial
Yang di maksud dengan perubahan sosial adalah perubahan yang terjadi pada struktur sosial.
Secara sosiologis lingkungan budaya merupakan hasil lingkungan sosial. Hal ini di sebabkan, oleh karena kebudayaan merupakan hasil karya, hasil cipta dan hasil rasa yang di dasarkan pada karsa. Lingkungan budaya identik dengan nilai-nilai. Suatu nilai merupakan pandangan yang baik atau buruk mengenai sesuatu. Biasanya nilai-nilai terbentuk dari hasil pengalaman berinteraksi. Dari proses berinteraksi dengan pihak-pihak lain, manusia akan mendapatkan pandangan-pandangan tertentu mengenai sesuatu mengenai interaksi tersebut. Pengaruh lingkungan sosial maupun budaya sebenarnya a tidak berlangsung secara langsung terhadap anak-anak. Pengaruh tersebut berlangsung melalui unsur-unsur tertentu dalam masyarakat.
Sebagai sentral dan sekaligus anggota masyarakat, keluarga mempunyai inter-relasi dengan masyarakat di luar dirinya. Sehingga setiap individu dalam suatu keluarga berusaha untuk membawa citra keluarga di dalam masyarakat. Alam kehidupan sosial, tentu saja keluarga tidak terlepas dari kondisi-kondisi keluarga yang ada dalam masyarakat tersebut, baik norma-norma maupun nilai-nilai yang berlaku. Karena pada dasarnya norma dan nilai yang ada dalam masyarakat akan berpengaruh terhadap tindakan –tindakan yang akan di jalankan oleh keluarga. Norma dan nilai yang berlaku pada masyarakat bersifat kolektif dan mengikat, sehingga keluarga harus dapat menyesuaikan diri dengan aturan-aturan yang berlaku. Penyesuaian diri dengan lingkungan sosial di sebut sosial adjustment. Oleh karena manusia juga berhubungan dengan masyarakat maka tingkah lakunya tidak saja harus menyesuaikan diri dengan lingkungan fisik, tetapi juga dengan lingkungan sosialnya. Penyesuaian ini merupakan penyesuaian tingkah laku terhadap linkungan, di mana di dalam lingkungan tersebut terdapat aturan-aturan atau norma-norma yang mengatur tingkah laku dalam lingkunan sosial tersebut. Lingkungan permainan anak-anak tentu saja berbeda dengan lingkungan orang-orang dewasa. Demikianlah, seorang mulai dari kecil di tuntut oleh lingkungannya untuk bertingkah laku seperti yang diatur dan di kehendaki oleh lingkungannya. Norma-norma yang berhubungan dengan keluarga begitu kuat melekat pada kebudayaan yang apabila mereka langgar merupakan disorganizing.
C. Kelompok Sepermainan
Kelompok sepermainan dan peranannya belum begitu tampak pengaruhnya pada masa kanak-kanak, walaupun pada masa itu seorang anak sudah mempunyai sahabat-sahabat yang terasa dekat sekali dengannya. Sahabat-sahabat itu memang di perlukan sebagai penyaluran berbagai aspirasi yang memperkuat unsur-unsur kepribadian yang di peroleh dari rumah. Sudah tentu bahwa sahabat juga cenderung dan memilki kesempatan yang besar untuk memberikan pengaruh yang baik dan benar, walaupun tidak mustahil bahwa ada sahabat yang memberikan pengaruh yang kurang baik. Kelompok sahabat tersebut berkembang dengan lebih luas, perkembangan lebih luas itu antara lain di sebabkan karena bertambah luas ruang lingkup pergaulannnya, baik di sekolah maupun di luar sekolah.
Kelompok-kelompok yang lebih besar yang lazimnya “klik”(clique) tersebut secara ideal mempunyai peranan yang positif dalam membangkitkan motivasi belajar dan keberhasilan studi.
* Peranan positif dari klik :
a) Rasa aman dan rasa di anggap penting berasal dari keanggotaan suatu klik tertentu,hal mana penting bagi perkembangan jiwa yang sehat.
b) Rasa aman yang di timbulkan karena remaja di terima oleh kliknya akan menimbulkan dorongan untuk hidup secara mandiri untuk hidup secara mansiri (tidak tergantung pada siapapun).
c) Di dalam klik tersebut seorang remaja dapat menyalurkan rasa kecewanya, rasa takut, rasa khawatir, rasa gembira dan lain sebagainya, dengan mendapatkan yang wajar dari rekan-rekannya se-klik.
d) Klik memungkinkan remaja mengembangkan kemampuan dalam keterampilan-keterampilan sosial, sehingga dia lebih mudah menyesuaikan diri dengan keadaan
e) Lazimnya suatu klik mempunyai pola perilaku dan kaidah-kaidah tertentu yang mendorong remaja untuk bersikap secara dewasa.
Dalam perkembangan hidupnya, manusia di pengaruhi oleh hal-hal yang berasal dari dirinya sendiri (internal) dan faktor-faktor yang berasal dari luar diri pribadinya (eksternal). Istilah lingkungan psikologi sosial menunjukkan hubungan antara aspek pribadi dan aspek sosial. Lingkungan budaya secara sosiologis merupakan hasil lingkungan sosial, karena jika di lihat dari sudut sosiologis kebudayaan merupakan hasil pergaulan hidup dalam wadah-wadah yang sering di sebut kelompok sosial atau masyarakat.
A. Pengaruh Lingkungan Keluarga (orang tua)
Lingkungan pertama yang berhubungan dengan anak adalah orang tuanya. Melalui lingkungan inilah anak mengenal dunia sekitarnya dan pola pergaulan hidup yang berlaku sehari-hari. Melalui lingkungan kelurga inilah anak mengalami proses sosialisasi awal. Orang tua biasanya mencurahkan perhatiannya untuk mendidik anak, agar anak tersebut meperoleh dasar-dasar pergaulan hidup yang benar dan baik, melalui penanaman I siplin dan kebebasan serta penyerasiannya. Pada saat ini orang tua dan anggota keluarga lainnya melakukan sosialisasi melalui kasih sayang, atas dasar kasih sayang itu didik untuk mengenal nilai-nilai tertentu, seperti nilai ketertiban, nilai ketentraman dan nilai yang lainnya. Keluarga juga merupakan pelaksana pengawasan sosial yang penting. Banyak norma-norma kelompok yang di pelajari dalam keluarga dan dengan demikian merupakan pembatas tingkah laku yang sesuai. Kebiasaan-kebiasaan, adat istiadat dan kontrol kelembagaan yan mengatur peradilan, perkawinan, peranan-peranan pribadi maupun umum dari suami dan istri merupakan pelajaran yang luas di dalam keluarga.
Motivasi dan keberhasilan studi salah satunya di pengaruhi oleh lingkungan keluarga, apakah orang tua terlalu mementingkan disiplin atau memberikan kebebasan dari pada di siplin, ternyata keserasian atau keseimbangan keduanya sangat di perlukan.
Ada beberapa kritik anak pada orang tua, yaitu :
* Orang tua telalu kolot, ada juga yang mengatakan orang tua terlalu bebas
* Orang tua hanya memberikan nasehat
* Orang tua selalu menuntut hasil atau nilai sekolah baik
Peranan yang di harapkan dari orang tua bagi anak adalah :
1. Peranan Ayah
Di Indonesia, seorang ayah di anggap sebagai kepala keluarga yang di harapkan mempunyai sifat-sifat kepemimpinan yang baik. Sesuai dengan ajaran-ajaran tradisional (= jawa), maka seorang pemimpin harus dapat memberikan teladan yang baik (“ing ngarso sung tulodo”), memberikan semangat sehingga pengikut (anggota keluarga) itu kreatif (‘ing madyo bangun karso”), dan membimbing (“tut wuri handayani”). Sebagai seorang pemimpin di dalam rumah tangga, maka seorang ayah harus mengerti serta memahami kepentingan-kepentingan dari keluarga yang di pimpinnya.
Walaupun seorang anak tidak dengan terang-terangan meminta ayahnya untuk bersikap demikian tetapi pada umumnya anak-anak mengharapkan bahwa fungsi-fungsi tersebut dapat berjalan. Di dalam proses sosialisasi, seorang ayah dapat harus dapat menanamkan hal-hal yang kelak di kemudian hari, merupakan modal utama untuk dapat bertahan sendiri. Misalnya nilai kejujuran, nilai kewibawaan dan rasa tanggung jawab.
2. Peranan Ibu
Peranan seorang ibu pada masa anak-anak sangat besar sekali. Wlaupun demikian, ada suatu kecenderungan bahwa peranan ibu mulai berubah, terutama di kota-kota besar di Indonesia. Perubahan-perubahan tersebut antara lain di sebabkan, karena hal-hal sebagai berikut :
* Kesempatan untuk bekaerja semakin banyak bagi para wanita
* Adanya lembaga-lembaga pendidikan lanjutan yang terbuka bagi para wanita
* Di bentuknya organisasi-organisasi wanita yang ada kaitannya dari tempat bekerja suami.
Fungsi Lingkungan Keluarga :
Pada dasarnya keluarga mempunyai funsi-fungsi pokok yang sulit rubah dan di gantikan oleh orang lain. Fungsi-fungsi pokok tersebut antara lain :
1. Fungsi Biologik
Keluarga merupakan tempat lahirnya anak-anak, fungsi biologik orang tua ialah melahirkan anak. Fungsi ini merupakan dasar kelangsungan hidup masyarakat. Namun fungsi ini mengalami perubahan, karena keluarga sekarang cenderung kepada jumlah anak yang sedikit ini. Hal ini di pengaruhi oleh faktor-faktor :
ü Perubahan tempat tinggal keluarga dari desa ke kota
ü Makin sulitnya fasilitas perumahan
ü Banyaknya anak di pandang sebagai hambatan untuk mencapai sukses material keluarga
ü Meningkatnya taraf pendidikan wanita berakibat kurangnya fertilitanya
ü berubahnya dorongan daari agama agar keluarga mempunyai bayak anak
ü makin banyaknya ibu-ibu yang bekerja di luar rumah
ü makin meluasnya pengetahuan dan penggunaan alat-alat kontrasepsi
1. Fungsi Afeksi
Hubunagn afeksi ini tumbuh sebagai akibat hubungan cinta kasih yang menjadi dasar perkawinan. Dari hubungan afeksi ini lahirnya hubungan persaudaraan, persahabatan, kebiasaan, identifikasi, persamaan pandanan mengenai nilai-nilai. Dasar cinta kasih dan hubungan afeksi inimerupakan faktor penting bagi perkembangan pribadi anak. Dalam masyarakat yan makin impersonal, sekuler dan asing, pribadi sangat membutuhkan hubungan afeksi seperti yang terdapat dalam keluarga, suasana afeksi itu tidak terdapat dalam institusi sosial yang lain.
1. Fungsi sosialisasi
Fungsi sosialisasi ini menunjuk peranan kelurga dalam membentuk kepribadian anak. Melalui interaksi sosial dalam keluarga itu anak mempelajaripola-pola tingkah laku, sikap, keyakinan, cita-cita dan nilai-nilai dalam masyarakat dalam rangka perkembangan pribadinya.
Sedangkan Mac Iver and Page mengatakan the “Primary Function” dari keluarga modern adalah :
ü Prokreasi dan memperhatikan serta membesarkan anak
ü Kepuasan yang lebih stabil dari kebutuhan seks masing-masing pasangan
ü Bagian dari rumah tangga, dengan gabungan materialnya. Kebudayaan dan kasih sayang.
©
B. Lingkungan Sosial
Lingkungan sosial adalah segala faktor eksternal yang mempengaruhi perkembangan pribadi manusia, yang berasal dari luar diri pribadi. Secara konsepsional, maka lingkungan sosial mencakup unsur-unsur :
© Proses sosial
Inti proses sosial adalah interaksi sosial yang merupakan proses hubungan timbale balik antar pribadi, antar kelompok dan antar pribadi dengan kelompok.
© Struktur sosial
Struktur sosial menjadi landasan lingkungan sosial, oleh karena mencakup aspek-aspek sosial yang pokok yakni kelompok sosial, kebudayaan, lembaga-lembaga sosial, stratifikasi sosial, kekuasaan dan wewenang.
© Perubahan-perubahan sosial
Yang di maksud dengan perubahan sosial adalah perubahan yang terjadi pada struktur sosial.
Secara sosiologis lingkungan budaya merupakan hasil lingkungan sosial. Hal ini di sebabkan, oleh karena kebudayaan merupakan hasil karya, hasil cipta dan hasil rasa yang di dasarkan pada karsa. Lingkungan budaya identik dengan nilai-nilai. Suatu nilai merupakan pandangan yang baik atau buruk mengenai sesuatu. Biasanya nilai-nilai terbentuk dari hasil pengalaman berinteraksi. Dari proses berinteraksi dengan pihak-pihak lain, manusia akan mendapatkan pandangan-pandangan tertentu mengenai sesuatu mengenai interaksi tersebut. Pengaruh lingkungan sosial maupun budaya sebenarnya a tidak berlangsung secara langsung terhadap anak-anak. Pengaruh tersebut berlangsung melalui unsur-unsur tertentu dalam masyarakat.
Sebagai sentral dan sekaligus anggota masyarakat, keluarga mempunyai inter-relasi dengan masyarakat di luar dirinya. Sehingga setiap individu dalam suatu keluarga berusaha untuk membawa citra keluarga di dalam masyarakat. Alam kehidupan sosial, tentu saja keluarga tidak terlepas dari kondisi-kondisi keluarga yang ada dalam masyarakat tersebut, baik norma-norma maupun nilai-nilai yang berlaku. Karena pada dasarnya norma dan nilai yang ada dalam masyarakat akan berpengaruh terhadap tindakan –tindakan yang akan di jalankan oleh keluarga. Norma dan nilai yang berlaku pada masyarakat bersifat kolektif dan mengikat, sehingga keluarga harus dapat menyesuaikan diri dengan aturan-aturan yang berlaku. Penyesuaian diri dengan lingkungan sosial di sebut sosial adjustment. Oleh karena manusia juga berhubungan dengan masyarakat maka tingkah lakunya tidak saja harus menyesuaikan diri dengan lingkungan fisik, tetapi juga dengan lingkungan sosialnya. Penyesuaian ini merupakan penyesuaian tingkah laku terhadap linkungan, di mana di dalam lingkungan tersebut terdapat aturan-aturan atau norma-norma yang mengatur tingkah laku dalam lingkunan sosial tersebut. Lingkungan permainan anak-anak tentu saja berbeda dengan lingkungan orang-orang dewasa. Demikianlah, seorang mulai dari kecil di tuntut oleh lingkungannya untuk bertingkah laku seperti yang diatur dan di kehendaki oleh lingkungannya. Norma-norma yang berhubungan dengan keluarga begitu kuat melekat pada kebudayaan yang apabila mereka langgar merupakan disorganizing.
C. Kelompok Sepermainan
Kelompok sepermainan dan peranannya belum begitu tampak pengaruhnya pada masa kanak-kanak, walaupun pada masa itu seorang anak sudah mempunyai sahabat-sahabat yang terasa dekat sekali dengannya. Sahabat-sahabat itu memang di perlukan sebagai penyaluran berbagai aspirasi yang memperkuat unsur-unsur kepribadian yang di peroleh dari rumah. Sudah tentu bahwa sahabat juga cenderung dan memilki kesempatan yang besar untuk memberikan pengaruh yang baik dan benar, walaupun tidak mustahil bahwa ada sahabat yang memberikan pengaruh yang kurang baik. Kelompok sahabat tersebut berkembang dengan lebih luas, perkembangan lebih luas itu antara lain di sebabkan karena bertambah luas ruang lingkup pergaulannnya, baik di sekolah maupun di luar sekolah.
Kelompok-kelompok yang lebih besar yang lazimnya “klik”(clique) tersebut secara ideal mempunyai peranan yang positif dalam membangkitkan motivasi belajar dan keberhasilan studi.
* Peranan positif dari klik :
a) Rasa aman dan rasa di anggap penting berasal dari keanggotaan suatu klik tertentu,hal mana penting bagi perkembangan jiwa yang sehat.
b) Rasa aman yang di timbulkan karena remaja di terima oleh kliknya akan menimbulkan dorongan untuk hidup secara mandiri untuk hidup secara mansiri (tidak tergantung pada siapapun).
c) Di dalam klik tersebut seorang remaja dapat menyalurkan rasa kecewanya, rasa takut, rasa khawatir, rasa gembira dan lain sebagainya, dengan mendapatkan yang wajar dari rekan-rekannya se-klik.
d) Klik memungkinkan remaja mengembangkan kemampuan dalam keterampilan-keterampilan sosial, sehingga dia lebih mudah menyesuaikan diri dengan keadaan
e) Lazimnya suatu klik mempunyai pola perilaku dan kaidah-kaidah tertentu yang mendorong remaja untuk bersikap secara dewasa.
Langganan:
Postingan (Atom)